Monday, May 9, 2016

Cinta dalam hati 💕


Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. 
Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. 
Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. 

Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. 
Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. 
Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. 
Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! 
Maka gadis cilik itu bangkit. 
Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. 
Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. 
Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. 
Mengagumkan! 
‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. 

Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. 
Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. 
Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. 
Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu. 

”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali. 
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. 
Kedudukan di sisi Nabi? 
Abu Bakr lebih utama, 
mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, 
namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. 
Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah 
sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.. 
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. 
Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. 
Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali. 
Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. 
Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? 
Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah. 
’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. 

”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali. 
”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.” 

Cinta tak pernah meminta untuk menanti. 
Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. 
Ia adalah keberanian, atau pengorbanan. 

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu. 
Lamaran Abu Bakr ditolak. 
Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. 
Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. 
Setelah Abu Bakr mundur, 
datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, 
seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka, 
seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut. 
’Umar ibn Al Khaththab. 
Ya, Al Faruq, 
sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. 
’Umar memang masuk Islam belakangan, 
sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr. 
Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? 
Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? 
Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? 
Dan lebih dari itu, 
’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, 
”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..” 
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. 

Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. 
’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. 
Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. 
Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. 
Menanti dan bersembunyi. 
’Umar telah berangkat sebelumnya. 
Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. 
”Wahai Quraisy”, katanya. 
”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. 
Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” 
’Umar adalah lelaki pemberani. 
’Ali, sekali lagi sadar. 
Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. 
Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. 
’Umar jauh lebih layak. 
Dan ’Ali ridha. 

Cinta tak pernah meminta untuk menanti. 
Ia mengambil kesempatan. 
Itulah keberanian. 
Atau mempersilakan. 
Yang ini pengorbanan. 

Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. 
Lamaran ’Umar juga ditolak. 
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? 
Yang seperti ’Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? 
Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? 
Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri. 
Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. 
Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? 
Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? 
Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu? 

”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. 
”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..” 
”Aku?”, tanyanya tak yakin. 
”Ya. Engkau wahai saudaraku!” 
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?” 
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!” 

’Ali pun menghadap Sang Nabi. 
Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. 
Ya, menikahi. 
Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. 
Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. 
Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? 
Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? 
Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang. 
”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. 
Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya. 
Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya. 
Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. 

Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” 
Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi. 
Dan ia pun bingung. 
Apa maksudnya? 
Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. 
Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. 
Mungkin tidak sekarang. 
Tapi ia siap ditolak. 
Itu resiko. 
Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. 
Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. 
Ah, itu menyakitkan. 

”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?” 
”Entahlah..” 
”Apa maksudmu?” 
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!” 
”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka, 
”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! 
Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!” 

Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. 
Dengan menggadaikan baju besinya. 
Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. 
Itu hutang. 

Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah. 
Dengan keberanian untuk menikah. 
Sekarang. 
Bukan janji-janji dan nanti-nanti. 
’Ali adalah gentleman sejati. 
Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, 
“Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” 

Inilah jalan cinta para pejuang. 
Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab. 
Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. 
Seperti ’Ali. 

Ia mempersilakan. 
Atau mengambil kesempatan. 
Yang pertama adalah pengorbanan. 
Yang kedua adalah keberanian. 

Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, 

dalam suatu riwayat dikisahkan 

bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) 

Fathimah berkata kepada ‘Ali, 

“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda” 

‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau menikah denganku? dan Siapakah pemuda itu” 

Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu” 

Kisah ini disampaikan disini, 

bukan untuk membuat kita menjadi mendayu-dayu atau romantis-romantis-an 

Kisah ini disampaikan 

agar kita bisa belajar lebih jauh dari ‘Ali dan Fathimah 

bahwa ternyata keduanya telah memiliki perasaan yang sama semenjak mereka belum menikah tetapi  

dengan rapat keduanya menjaga perasaan itu 

Perasaan yang insyaAllah akan indah ketika waktunya tiba. :)

Wednesday, May 4, 2016

Hello Mei, Let's Move On!

Saya sedang suka~sukanya sama lagu tiffany, judulnya Jangan Bersedih. Lagu ini memotivasi saya untuk move on dari masa lalu.. saya pernah jatuh hati pada seseorang, mengaguminya, sosok lelaki impian saya. Pekerja keras, smart, dan yang terpenting agamanya menurut saya cukup baik untuk seorang pemimpin keluarga nanti. Pernah memiliki mimpi masa depan yang sama, merancangnya begitu indah, sampai saya tak sanggup untuk bangun dari mimpi itu..

Saya tahu, semenjak SMA dia mengagumi saya, yah meskipun sekarang saya sadar mungkin sebenarnya dia hanya terobsesi saja pada saya. Ketika SMA, sejujurnya saya sama sekali tak menaruh hati padanya, karena saya menyukai pria yang sebaya dengan saya, bukan sosok kakak tingkat seperti dia yang terlalu kaku dan disiplin. Hingga ketika saya dikhianati sama teman sebaya saya tersebut, saya menerima kakak tingkat yang serius itu hanya untuk membuat mantan saya cemburu, hanya ingin membuktikan bahwa saya bisa mendapatkan lelaki yang jauh lebih baik dari dia. Yah, namanya juga cinta monyet. Saya menerima kakak itu pas ketika dia purna wisuda SMA, kala itu saya kelas 11 naik ke kelas 12. Yah, kami mencoba LDR. Jalan beberapa bulan, saya mutusin dia dengan alasan mau fokus belajar, padahal sebenarnya saya ga ada rasa sama sekali padanya. Dia masih sering mencoba komunikasi dengan saya lewat sosmed, karena memang saya ganti nomor handphone. Kadang saya abaikan, kadang saya jawab seadanya.

Sampai saya kuliah, setelah bosan juga ngejomblo, hehe. Akhirnya saya mencoba ngebuka hati lagi untuk sosok yang baru saya kenal di bangku kuliah, sosok yang selalu ngebantuin tugas kuliah saya. Pada saat saya memasang status berpacaran di salah satu sosmed, kakak itu ngucapin selamat, dan selang beberapa bulan saya tahu dia juga sedang menjalin hubungan di pulau seberang. Iya, sepertinya kakak itu sudah move on dari saya. Sedikit lega, hehe, karena ga ada lagi yang gangguin saya.
Saat kuliah, saya sangat merasa beruntung memiliki sosok pacar yang tampan, baik, pinter juga. Tanpa saya sadari, karena itulah banyak wanita lain juga yang mengaguminya, yang pasti banyak yang lebih baik dari saya. Singkat cerita badai itu datang yang membuat saya cemburu karena ternyata dia bukan hanya baik pada saya. Dia juga baik, ramah dan perhatian pada wanita lain. Akhirnya, saya putus dengan dia, meskipun di awal sulit banget untuk move on, saya bisa melupakannya dan bertekad untuk tidak pacaran lagi, hanya untuk berfokus sama kuliah, saya juga aktif organisasi untuk mencari kesibukan, sibuk ikut liqo atau semacam pengajian mahasiswa gitu. Terkadang saya rajin curhat sama murabbi atau mentor liqo saya, dan dialah yang membuat saya semangat move on, lalu mengambil hikmah dari setiap kejadian yang saya alami. Sampai akhirnya saya berhasil wisuda dengan predikat cumlaude.

Lalu, saya kerja di salah satu bimbingan belajar, membagi sedikit ilmu matematika yang saya miliki. Karena memang saya maunya kerja di kota, bosan di dusun, hehe. Kakak itu datang lagi menyapa saya lewat sosmed. Iya, kakak tingkat yang sekarang pastinya sudah kerja juga, sambil S2 di MM UGM, yang sekarang mungkin menjadi idola banyak wanita. Sudah lama sekali tak berjumpa, bahkan mungkin saya sudah lama melupakannya.
Saya sadar, sekarang sudut pandang saya mengenai calon suami idaman berubah 180 derajat dari kriteria saya saat SMA atau kuliah. Harusnya dari dulu, sosok seperti dia yang saya kagumi. Bukan sosok pemain basket, anak band atau anak gaul lainnya.
Singkatnya, saya mulai dekat lagi dengannya, sosok kakak yang rajin mengingatkan saya, sampai akhirnya kami balikan lagi, namun seiring berjalan waktu, entah kenapa dia memutuskan saya, dia bilang hanya ingin bersahabat dengan saya. Harusnya saya sadar, sekarang dia bukan yang dulu lagi. Bukan kakak tingkat kayak SMA lagi. Saya merasa sedih banget dan ga mau lagi bicara dengannya. Saya yang sudah berusaha untuk membuka hati untuknya, dia malah mengkhianati saya. Yah, mungkin dia mau balas dendam dengan saya, tapi apapun itu, saya sudah memutuskan untuk tidak akan mengingatnya lagi. Dan untungnya jarak kami jauh, jadi ga terlalu sulit untuk melupakannya. 

Kayak lirik lagunya tiffany:
Mungkin dia memang bukan jodohmu, dipaksakan nanti sakit hatimu.. pilihan Tuhan pasti jauh terbaik, jadi jangan bersedih lagi... ☺


Sekarang saya mau fokus ke karir dulu, semoga saja bertemu jodoh yang terbaik yang dikasih sama Gusti Allah... ☺